India adalah negeri yang serba ganda, ganda dalam suku bangsa,
ganda dalam budaya, dan ganda dalam soal kepercayaan. Oleh sebab itu,
mempelajari agama Hindu terasa mengalami kesulitan. Jika kita lihat dari sudut
pandang ilmu bangsa-bangsa, India adalah tanah yang beraneka ragam dan
akibatnya ialah orang dapat melihat suatu kebudayaan yang beraneka ragam. Jika
kita ibaratkan, agama Hindu itu seperti pohon besar yang memiliki cabang yang
sangat banyak yang melambangkan berbagai pemikiran keagamaan.
Namun itu tidak menyurutkan niat penulis untuk membuat makalah ini
dan untuk mempermudah dalam pemahaman, penulis
berusaha menunjukan garis-garis besar yang menghubungkan berbagai gejala
dan aliran itu yang satu dengan yang lain .
Asal
Usul Agama Hindu
Agama Hindu adalah agama yang tertua di dunia. Agama ini telah
melewati perjalanan sangat panjang yang bermula dari abad ke 15 SM hingga
sekarang.[1]
Di India, agama Hindu sering disebut dengan nama Sanatana Dharma yang
berarti agama yang kekal, atau Waidika Dharma, yang berarti agama yang
berdasarkan kitab suci Weda.[2]
Tidak banyak yang tahu soal asal mula agama Hindu. Hal ini karena
sejarah agama tersebut telah ada sebelum masa penulisan sejarah berkembang.
Agama Hindu diyakini terbentuk dari beberapa keyakinan yaitu, keyakinan bangsa
Arya dan keyakinan bangsa Dravida. [3]
Agama ini tidak seperti agama-agama lain, dalam agama Hindu tidak
dapat diketahui secara pasti siapa pembawa pertama ajaran-ajarannya. Ini
merupakan salah satu kesulitan dalam mempelajari agama Hindu. [4]
Nama Hindu yang sekarang lazim dikenal dan telah dipergunakan
secara umum di seluruh dunia, merupakan nama asing karena nama itu diberikan
oleh orang yang bukan Hindu.[5]
Nama India dijelaskan dari nama sungai Sindbu, yang mengairi daerah barat
India. Bangsa Persia menyebut sungai itu sungai Hindu. Kemudian nama ini
diambil alih oleh orang Yunani, sehingga nama itulah yang terkenal di dunia
barat. [6]
Sejarah
India Kuno
India kuno dipisahkan dari bagian-bagian Asia yang lain oleh
bukit-bukit yang tinggi dan terjal yaitu, dibagian barat oleh tanah Pegunungan Hindu Kush, di bagian
utara oleh bukit-bukit Pegunungan Himalaya dan di sebelah timur oleg tanah
pegunungan yang memisahkan India dari Birma.
Pegunungan Windhya yang membujur dari barat ke timur membagi India
menjadi dua bagian, yaitu: India Utara dan India Selatan.
India Utara memiliki dua lembah sungai yang luas dan subur, tempat
kekayaan yang melimpah-limpah dan tempat kerajaan-kerajaan besar berkembang,
yaitu lembah sungai Indus atau Sindhu di sebelah barat, dan lembah lembah
sungai Gangga di tengah dan timur. Kedua lembah ini lembah ini dipisahkan
oleh Padang Pasir Thar atau Rajasthan dan dataran tinggi Kuruksetra, yang
pada zaman kuno merupakan medan pertempuran bangsa-bangsa yang ingin atau
mempertahankan India.
India selatan terdiri dari tanah pegunungan Windhya di sebelah
utara dan lembah pantai di sebelah timur, selatan dan barat, sedangkan di
tengah-tengah terdapat suatu dataran tinggi Dekhan, yang sukar sekali dimasuki.
Sebagian besar dataran Dekhan adalah kering di sebalah barat maupun timur
dataran ini dibatasi oleh jajaran bukit-bukit, demikian juga di sebelah timur.
Pegunungan di sebelah barat lebih tinggi dari pada sebelah timur, sehingga
banyak sungai yang mengalir ke timur. Hanya ada dua sungai yang mengalir ke
barat. Daerah pantai merupakan daerah yang luas dan subur dengan banyak Kota
dagangnya.[7]
Bangsa India sekarang ini
adalah bangsa campuran. Diantara bangsa-bangsa yang memasuki India mempunyai
pengaruh besar sekali atas bangsa India adalah bangsa Dravida dan bangsa Arya.
Bangsa Dravida tersebar di seluruh India. Tetapi di India utara mereka kemudian
di desak oleh bangsa Arya yang memasuki India kira-kira tahun 1500 sebelum
Masehi. Namun hal ini tidak berarti bahwa mereka dilenyapkan dari India utara.
Mereka bercampur dengan bangsa Arya itu.
Bangsa Arya termasuk bangsa Indo-Jerman. Dari mana mereka berasal tidak dapat
diketahui dengan pasti ada kemungkinan mereka berasal dari Asia Tengah dan
mereka ingin mencari tanah-tanah yang lebih subur sehingga pada zaman kuno itu
mereka menyebar kemana-mana. Ada yang memasuki Eropa utara ada juga yang memasuki
tanah Balkan, lalu menyebrang ke Asia kecil, menuju Iran dan akhirnya
memasuki India melalui celah-celah Halbar, di sebelah barat laut. Kemungkinan
besar mereka memasuki India secara bergelombang . dan dengan pelan-pelan mereka
menduduki seluruh India utara.[8]
Peradaban Lembah Sungai Indus
Peradaban India kuno dikenal sebagai peradaban Lembah sungai Indus. Luas geografi wilayah peradaban ini meliputi 1,25 juta km atau seluas Pakistan sekarang. Dua kota yang sangat terkenal ini adalah Mohenjodaro di wilayah Pakistan Selatan sekarang dan Harappa di daerah Punjab.
Kemakmuran peradaban Lembah Sungai Indus sangat bergantung pada intensifikasi pengelolaah lahan pertanian di sepanjang lembah. Di kawasan ini, petani mengembangkan budaya agraris. Dari hasil itu, mereka mampu menghasilkan gandum, sayuran, dan kapas. Petani juga berternak sapi, kerbau, dan babi.
Peradaban sungai Indus berkembang selama kurang lebih seribu tahun. Namun,peradaban tersebut tampak muncul secara singkat dalam sejarah peradaban umat manusia karena mengalami kehancuran.[9]
Peradaban Mohenjodaro dan Harappa
Dalam mempelajari peradaban dunia nama Indus lebih jauh lebih popular. Hal itu berhubungan dengan adanya penemuan besar pada abad ke 20 oleh jawaran Pemeriksaan Kebudayaan Kuno di India. Ketika itu mereka sedang melakukan penggalian tanah di sebuah kampung bernama Mohenjo-Daro dan Harappa yang berada di tepi lembah sungai Indus.
Penggalian itu menghasilkan barang-barang berharga, antara lain perabot rumah tangga, lempengan-lempengan tanah yang berhiaskan gambar binatang dan pohon beringin, serta sisi-sisi bangunan gedung maupun sisi-sisi benteng. Bangunan tersebut paling banyak ditemukan di kampong Mohenjo-Daro. Oleh karena itu para ahli memperkirakan bahwa masyarakat yang tinggal di sungai Indus sudah mempunyai peradaban yang tinggi. Adanya perabot rumah tangga menandakan bahwa mereka sudah hidup bermasyarakat dan mempunyai kemampuan mengelola dan menyajikan makananseperti layaknya manusia sekarang.
Invansi Bangsa Arya
Banyak ahli sejarah menduga bahwa peradaban Mohenjodaro dan Harappa runtuh akibat serbuan bangsa Arya. Pengetahuan mengenai awal bangsa Arya diperoleh dari kitab Regweda, yang merupakan kitab tertua dan paling suci bagi umat Hindu. Kitab tersebut berisi beberapa informasi sejarah mengenai bangsa Arya dan suku-suku asli bangsa India.[10]
Bangsa Arya diperkirakan masuk ke India antara 2000 dan 1000 tahun
sebelum Masehi. Kaum Arya, yang memisahkan diri dari kaum sabangsanya di Iran
dan yang memasuki India melalui jurang-jurang di pegunungan Hindu Kush.
Bangsa Arya itu, yang termasuk induk bangsa Indo-Eropa. Dari tempat
mereka terakhir di daerah Asia pusat sebagaian dari mereka memasuki dan menetap
di dataran tinggi Iran, dan sebagian lagi di Punjab (5 sungai). Di sepanjang sungai
Sindhu terdapat suatu peradaban bangsa Dravida yang sudah tinggi sekali
tingkatnya. Peradaban itu berpusat di kota-kota yang diperkuat dengan
benteng-benteng.
Setelah datang di India mereka menentap di dataran sungai Sindhu
yang pada zaman itu masih subur, jadi di daerah itu mereka telah menjumpai
suatu peradaban tua. Di dalam beberapa hal mereka sangat berbeda dengan bangsa
Dravida. Kemudian mereka lebih jauh memasuki India sampai di tepi sungai Gangga
dan sampai di sebelah selatan.
Pada waktu bangsa Arya masuk ke India, mereka itu masih merupakan
bangsa setengah nomad (pengembara), yang baginya peternakan lebih besar artinya
dari pada pertanian. Bagi bangsa Arya kuda dan lembu adalah binatang-binatang
yang sangat dihargai sehingga binatang-binatang itu dianggap suci. Dibandingkan
dengan bangsa Dravida, maka bangsa Arya boleh dikatakan primitif. Mereka
memasuki daerah yang sangat luas yang tertutup oleh hutan rimba yang tak
terhingga, tempat tinggal banyak binatang dan seringkali sangat berbahaya. Orang-orang
yang mereka jumpai di situ adalah orang-orang yang sangat asing bagi mereka
mengenai bahasa, bentuk badan, air muka, kebudayaan dan mengenai cara hidupnya.
Mereka pun harus membereskan masalah-masalah sosial yang sukar,
yakni kemurnian darah atau asimilasi (penyesuaian) dengan orang-orang bukan
Arya. Walaupun tanah sangat subur dan kaya akan tumbuh-tumbuhan serta iklim
sangat baik, sehingga mereka tidak perlu mengkhawatirkan penghidupan mereka,
namun di dalam tempat-tempat pendudukan mereka yang kecil-kecil dan merupakan
semacam desa-desa yang diperkuat di tengah-tengah hutan itu, mereka harus
memecahkan soal-soal yang gawat. [11]
Akhirnya mereka pun makin bercampur dengan bangsa Dravida dan
dengan demikianlah terwujudlah akhirnya suatu kesatuan. Berkat peleburan
kebudayaan Dravida yang tua itu dengan kebudayaaan Arya terjadilah kemudian
kebudayaan India.
Dahulu orang tidak tahu dengan tepat dan selalu memendang
kebudayaan India seluruhnya sebagai kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Arya.
Tetapi terutama setelah penggalian-penggalian tersebut di atas, berubahlah
pandangan orang dan makin banyak diketahui, bahwa bermacam-macam unsure di
dalam kebudayaan India berasal dari kebudayaan Dravida yang tua itu. [12]
Bangsa Arya datang dengan membawa bahasa Sansekerta. Mereka juga
memperkenalkan sistem kasta, yang menempatkan orang-orang ke dalam
bermacam-macam kasta atau warna berdasarkan kedudukan. [13]
[1]
Sami bin Abdullah al-Maghlouth, Atlas Agama-Agama (Jakarta: Almira,
2011), h. 483
[2]
Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia ( Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988), h. 93
[3]
Sami bin Abdullah al-Maghlouth, Atlas Agama-Agama (Jakarta: Almira,
2011), h. 487
[4]
Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia ( Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988), h. 56
[5]
Djam’annuri, Agama Kita: Perspektif sejarah agama-agama (Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta, 2002), h. 35, cet II
[6]
Harun Hadiwijono, Agana Hindu dan Budha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
2008), h. 9, Cet 15
[7]
Harun Hadiwijono, Agana Hindu dan Budha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
2008), h. 9-10
[8]
Harun Hadiwijono, Agana Hindu dan Budha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
2008), h. 10
[9]
Nana Supriyatna, Sejarah (Jakarta: Grafindo Media Pratama, 2006), h. 65
[10]
Nana Supriyatna, Sejarah (Jakarta: Grafindo Media Pratama, 2006), h. 65
[11]
A.G. Honig, Ilmu Agama (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), h. 80
[12]
A.G. Honig, Ilmu Agama (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), h. 79
[13]
Michael keene, Agana-Agama Dunia (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 9
Posting Komentar