Welcome in my Blog

selamat bergabung dan belajar
Headlines News :
Diberdayakan oleh Blogger.

Filsafat Hindu

Filsafat Hindu

Peta Jalur Pelayaran Hindia-Indnesia


Pengertian Jalur Sutra

Jalan Sutra adalah jalur jalan terpanjang yang membentang diantara dua benua, menghubungkan Tiongkok dan dunia barat, yang zaman dulu dipakai sebagai rute perdagangan melalui darat. Sejak lama, Tiongkok dikenal sebagai penghasil kain sutra yang hasilnya diekspor ke barat, terutama melalui jalan ini, makanya disebut "jalan sutra" (the silk road), sepanjang jalan yang melalui banyak negara ini, terbentanglah peninggalan budaya dan sejarah yang sangat bernilai untuk dinikmati, sambil membayangkan businessman jaman dulu mengangkut sutra dan komoditi barang dagangan lainnya melewati 7.000 mil jalan di jalur sutera ini menuju Eropa.

Jalan Sutra adalah yang jalur paling terkenal sebagai rute perdagangan dari peradaban Tiongkok kuno. Perdagangan sutra tumbuh di bawah Dinasti Han (202 SM – AD 220) pada abad pertama dan kedua Masehi. Awalnya, sutra dihasilkan Tiongkok kuno untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, di dalam kekaisaran. Setelah produksi menjadi banyak, mereka mulai menjualnya ke arah Barat, mengangkutnya menggunakan kereta kuda dan unta saat melewati gurun. Dalam perjalanan, mereka sering diserang oleh suku-suku kecil di Asia Tengah yang ingin merampas komoditi berharga yang dibawa pedagang. Akibatnya,
Dinasti Han memperluas pertahanan militernya lebih jauh ke Asia Tengah 135-90 SM dalam rangka untuk melindungi para pedagang. Pemerintah Han mengirim Jenderal Zhangqian (Chan Ch'ien) sebagai seorang utusan untuk membangun hubungan yang baik dengan suku-suku ini, kemudian muncul ide untuk memperluas perdagangan sutra, memasukkan suku-suku kecil ini sebagai bagian didalamnya, membentuk aliansi dengan mereka. Karena ide ini, Jalan Sutra lahir. Rute tumbuh dengan munculnya Kekaisaran Romawi karena pada awalnya memberikan sutra Tiongkok pada pemerintahan Asia-Romawi sebagai hadiah.

Rute Jalur Sutra

Rute 7.000 mil yang membentang Tiongkok, Asia Tengah, India Utara, dan Kekaisaran Parthia dan Romawi. Ia menghubungkan Lembah Sungai Kuning dengan Laut Tengah dan melewati tempat-tempat di Tiongkok seperti kota Gansu dan Sinkiang dan saat ini negara Iran, Irak dan Suriah.

Penduduk India barat laut yang tinggal di dekat Sungai Gangga memainkan peran penting sebagai perantara dalam perdagangan sutra Tiongkok-Mediterania karena pada awal abad ketiga Masehi, mereka mengerti bahwa sutra adalah produk yang menguntungkan dari KekaisaranTiongkok. Hubungan perdagangan antara Tiongkok dan India tumbuh lebih kuat dengan peningkatan ekspansi Han ke Asia Tengah. Tiongkok juga melakukan perdagangan sutra mereka dengan orang-orang India seperti batu mulia dan logam seperti batu giok, emas, dan perak, dan India juga menjual sutra kepada kekaisaran Roma. Sutra adalah barang impor yang sangat bernilai dan mahal harganya untuk Kekaisaran Romawi sejak perdagangan di India dan Asia Tengah yang sangat dikendalikan oleh Kekaisaran Parthia.

Filsafat Hindu


Pembagian Filsafat Hindu
Pemikiran keagamaan Hindu dapat dibagi menjadi dua bagian utama: heterodoks dan ortodoks. Sistem heterodoks (yang disebut dengan nastika dalam bahasa Sanskrta) menolak sumber Veda. Sistem ini termasuk di dalamnya Carvaka (materialistis), Jainisme dan Buddhism. Sistem Carvaka menolak pemikiran kesadaran diri (atman) yang terpisah dari tubuh dan menolak istilah moksa (pembebasan diri) bagi atman. Sistem filsafat ini tidak pernah dikenal secara meluas oleh orang-orang Hindu.
Sistem ortodoks (yang disebut dengan astika dalam bahasa Sanskrta) menerima sumber-sumber Veda. Termasuk di dalamnya enam bagian filsafat Hindu, yaitu Uttara Mimamsa (Vedanta), Purwa Mimamsa (Mimamsa), Yoga, Sankhya, Nyaya, dan Veisesika.[1]

          A.   Enam Filsafat India (Shad Darsana)
Keenam sistem filsafat ortodoks India yang disampaikan dalam sistem klasik disebut Shad Darshana. Aliran-aliran pemikiran filsafat ini dikembangkan sebagai hasil dari pengetahun yang dipadatkan melalui masa Weda, Brahmana, Upanishad, dan Purana dalam sejarah pemikiran India. Sistem-sistem filsafat ini berasal dari para pertapa dan orang-orang bijak India, sebagai hasil realisasi spiritual serta penglihatan kontemplatif mereka.
Kata Darshana berarti persepsi langsung, pandangan kontemplatif, penglihatan spiritual. Secara filosofis, kata Darshana berarti pengetahuan tentang Prinsip Tertinggi (Ultimate Principle) atau pola yang melandasi kreasi fenomenal dan tentang pembagian kategori (tattva) unsur-unsur (elements) yang membentuk pola-pola tersebut. Karna itu, darshana  sebagai sebuah sistem filosofis membentuk sekumpulan pengetahuan mengenai Prinsip Tertinggi yang diturunkan dari para bijak melalui pewahyuan atau persepsi spiritual langsung.
Keenam filsafat ini dirumuskan oleh beberapa para Rishis yang melihat Realitas atau Kebenaran (Truth) yang sama, tetapi dari sudut pandang serta kedalaman yang berbeda.[2]
Usaha untuk menyatukan ke enam sistem menjadi satu filsafat ortodoks klasik baru dilakukan pada sekitar abad ke-9 dan abad ke-11. Nama keenam sistem filsafat dan pendirinya adalah:[3]
1.      Sistem Nyaya                          : didirikan oleh Gautama
2.      Sistem Vaisesika                     : didirikan oleh Kanada
3.      Sistem Samkhya                      : dirumuskan oleh Kapila
4.      Sistem Yoga                            : dirumuskan oleh Patanjali
5.      Sistem Purva-Mimamsa         : dirumuskan oleh Jaimini
6.      Sistem Vedanta                       : dirumuskan oleh Vyasa
Keenam filsafat ini biasanya dikelompokkan menjadi tiga pasangan ganda. Pasangan pertama adalah Nyaya-Vaisesika; pasangan kedua adalah Samkhya-Yoga; dan pasangan ketiga adalah Mimamsa-Vedanta. Setiap pasangan dianggap sebagai dua sisi mata uang. Setiap aspek berfungsi sebagai pelengkap dan penguat bagi aspek lainnya. Jika keempat sistem pemikiran India lainnya (Samkhya, Yoga, Mimamsa, & Vedanta) adalah bersifat spekulatif, dalam arti bahwa mereka menjelaskan alama-semesta sebagai satu kesatuan menyeluruh, sistem Nyaya-Veiseshika mewakili tipe filsafat analitis serta menjunjung tinggi akal sehat dan sains. [4]

              C.   Mimamsa
Secara etimologis, kata mimamsa berarti ‘bertanya’atau penyelidikan. bagian pertama dari filasfat ini disebut Purwa-Mimamsa (Mimamsa), sedangkan bagian kedua disebut Uttara-Mimamsa (Vedanta). Mimamsa dan vedanta juga seringkali dijadikan satu pasangan. Sistem Mimamsa-Vedanta adalah dua bagian dari satu filsafat yang mewakili unsur paling ortodoks dari tradisi Weda. Kedua sistem ini menjelaskan perkembangan, tujuan, serta ruang lingkup teks Weda. [5]
Filsafat Mimamsa yang akan dibahas adalah Purwa Mimamsa, yang umum disebut dengan Mimamsa saja. Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang sistematis terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang populer, yaitu Vedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.
Sebagai tokoh aliran Mimamsa ialah Jaimini yang hidup antara abad 3-2 SM dengan ajaran pokok yang diuraikan dalam kitab Mimamsa-Sutra. Dalam jaman kemudian ajaran dalam mimamsa-sutra dikomentari oleh para pengikutnya seperti : Sabaraswamin sekitar abad ke 4 Masehi dan Prabhakarya sekitar tahun 650. Serta yang terakhir oleh Kumarila Bhata sekitar tahun 700. Oleh karena itu dalam perkembangan selanjutnya terjadilah dua aliran dalam Mimamsa yaitu disatu pihak pengikut Prabhakara dan yang lainnya adalah pengikut Kumarila Bhata. Kedua aliran ini tetap berpegang pada pokok ajaran Mimamsa walaupun tujuan mereka masing-masing ada perbedaan.[6]        
              D.   Ajaran Pokok Filsafat Mimamsa
1.      Epistimologi
Sendi utama teori pengetahuan Mimamsa adalah pemahaman tentang keabsahan diri pengetahuan. tidak seperti teori pengetahuan lain yang mempertahankan bahwa klaim-klaim pengetahuan diketahui sebagai yang benar ketika mereka berhubungan dengan realitas, atau ketika mereka menuntun orang kepada tindakan yang berhasil, atau ketika mereka berpadu dalam satu sistem yang konsisten. Mimamsa menekankan bahwa kodrat pengetahuan itulah yang memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri. Keyakinan kita akan kebenaran klaim yang ditunjuk pengetahuan dari kodratnya muncul sebagi satu sosok pengetahuan itu sendiri.[7]
Mengenai alat atau cara untuk mendapatkan pengetahuan Prabhakara mengajarkan lima cara, sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh Prabhakara. Keenam cara itu ialah: 

 1.              Pengamatan (Pratyaksa)
2.              Penyimpulan (anumata)
3.              Kesaksian        (Sabda)
4.              Perbandingan  (Upamana)
5.              Persangkaan    (Arthapatti)
6.              Ketiadaan        (Anupalabdi)
Empat bagian diatas sama dengan apa yang diterangkan dalam filsafat Nyaya. Bila keempat cara pertama tidak dapat dipakai untuk mendapatkan pengetahuan (kebenaran) dari suattu peristiwa, maka akanlah dipakailah cara persangkaan. Walaupun disadari bahwa cara ini perlu dibantu dengan cara lain untuk memperoleh cara yang pasti.
Bila terlihat seseorang dalam keadaan senyum dan mukanya berseri-seri, maka dapat diduga bahwa orang tersebut mendapat sukses dalam usahanya.
Kemudian Ketidak adaan (Anupalabdhi) termasuk cara yang diajarkan oleh Kumarila Bhata dan tidak termasuk diantara cara dari Prabhakara. Ketidakadaan ini dapat diterangkan dengan suatu contoh, misalnya: bila seseorang masuk dan mengamati sekeliling kamar dan mengatakan tidak ada meja di dalam kamar. Dia tidak melihat meja karena memang tidak ada meja di dalam kamar itu. Jadi  orang memiliki pengetahuan dalam hal ini karena ketidakadaan (anupalabdhi) dan ketidakadaan itu memang tidak dapat diamati.
Diantara cara-cara tersebut didepan maka Mimamsa memandang bahwa cara kesaksian (sabda) yang paling penting dan utama. Karna kesaksian adalah pengetahuan yang berasal dari kata-kata atau kalimat-kalimat. Namun sebagai satu sarana pengetahuan yang sah, kesaksian menunjuk hanya pada klaim-klam verbal yang berasal dari sumber yang dapat dipercayai dan dimengerti secara benar.
Dalam hal ini adalah kesaksian kitab weda. Wedalah kebenaran yang tertinggi dan Weda pula sumber pengetahuan yang sempurna. Tidak seperti beberapa sistem yang lain, Mimamsa tidak percaya akan satu pencipta dunia atau satu pengarang ilahi kitab Weda. Sebaliknya, Weda merupakan perwahyuan langsung dan kekal dari realitas itu sendiri.[8]
2.      Konsep Alam
Mengenai alam semesta Mimamsa mengatakan bahwa alam ini riil dan kekal serta terjadi dari atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam yaitu : Substansi, kwalitas, aktifitas dan sifat umum.
Substansi, Kwalitas dan sifat umum ini tidak dapat dipisahkan secara mutlak walaupun berbeda tetapi mewujudkan satu kesatuan yang bulat.
Substansi menurut Prabhakara terdiri dari sembilan (9) yaitu: 
a.     Bumi                                       f. Akal 
b.    Air                                           g. Pribadi
            c.     Api                                          h. Ruang
           d.    Hawa                                       i. Waktu
           e.     Akasa
Sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan ada sebelas (11) bagian substansi yaitu sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara dan ditambah dengan unsur lagi yaitu : kegelapan (tamasa) dan suara (sabda).[9]
3.      Hukum Karma
Walaupun Mimamsa tidak mengajarkan hakekat hukum karma seperti halnya dalam agama Hindu. Namun Mimamsa yakin akan adanyanya sebab-akibat atau phala dari suatu perbuatan. Mimamsa mengajarkan bahwahukum karma merupakan hukum moril yang mengatur dunia beserta isinya. Apa yang terjadi didunia ini merupakan akibat dari karma terdahulu oleh karena itu maka apa yang akan menimpa dunia ini seolah-olah sudah ditentukan oleh hukum moril itu. Makhluk dan manusia tidak dapat membantah dan menentang serta lari dari kenyataan yang dia alami.
Atas dasar itu maka diajarkan bahwa untuk mewujudkan kebaikan dan ketentraman, di masa yang akan datang sangat perlu untuk berbuat kebaikan dan kebenaran selama hidup ini. Karma yang baik adalah perbuatan yang dilandasi oleh ketentuan yang diajarkan oleh Weda yaitu dharma (upacara korban). Dan upacara korban itu hendaklah dilakukan dengan semangat tinggi, penuh kesadaran, tulus hati dan tidak mengharapkan imbalan berupa buahnya. Demikianlah hukm karma diajarkan Mimamsa.[10]
4.      Jiwa dan Kelepasan
Makhluk-makhluk yang hidup di dunia ini terutama manusia dipandang berjiwa oleh Mimamsa. Karena makhluk (manusia) berjumlah banyak, jiwa itupun banyak. Atas dasar itu, maka Mimamsa menganut sistem pluralis. Mimamsa mengakui banyak jiwa di dunia ini. Atmman (jiwa) berjumlah tak terbatas dan ada dimana-mana serta kekal. Tiap-tiap tubuh makhluk yang hidup memiliki satu jiwa.
Jiwa merupakan subyek dan obyek pengetahuan. jiwa itu adalah kesadaran sehingga mampu menjadi sebagai subyek. Dan sebagai obyek pengetahuan jiwa itu perlu dimengerti, dirasakan, dan disadari oleh manusia itu sendiri. Karena jiwa itu adalah kesadaran maka jiwalah yang mengendalikan tubuh manusia untuk mencapai kelepasan.
Sebagai jalan untuk mendapatkan kelepasan Mimamsa mengajarkan manusia hendaklah senantiasa melakukan dharma dalam hidupnya, yaitu upacara keagamaan dengan benar yang dilandasi oleh ketentuan Weda, dan sebisa mungkin mejauhkan diri dari segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan Weda. Bila ternyata jiwa yang kekal itu mengalami sengsara setelah mennggal dunia maka jalan yang patut ditempuh untuk membebaskan jiwa itu dari kesengsaraan adalah mengadakan upacara korban terhadap jiwa itu. Karna upacara korbanlah yang dapat menbersihkan dan membebaskan jiwa dari kesengsaraan.
Sedangkan di lain pihak bila orang tidak melakukan upacara korban keagamaan berarti mereka telah merusak hidupnya dan tidak akan mendapatkan kelepasan. Melainkan sebaliknya hanya nerakalah alam yang akan ditempati oleh jiwanya kelak.[11]
Semua perbuatan dikatakan mempunyai dua pengaruh atau akibat: satu yang luar (external) dan yang lainnya yang dalam (internal); satu yang nyata dan yang lain terpendam;yang satu kasar dan yang lain halus. Pengaruh dalam bersifat kekal dianggap sebagai “ke-ada-an/being”, sedang pengaruh luar bersifat sementara. Maka perbuatan berfungsi sebagai kendaraan untuk menanam benih kehidupan pada masa yang akan datang.[12]
         E.   Weda
Mimamsa menerima keabsolutan Weda yang bukan saja hanya dianggap sebagai sebuah hasil dari bahasa Konvensional, tatapi jugasebagai emanasi Realitas dalam bentuk suara kosmis (sabda). Kidung-kidung Weda merupakan formula sakral (mantra) dengan makna inheren serta kekuatan  untuk membukakan kebenaran dan magi. Pada saat pelaksanaan upacara korban, mantra-mantra khusus dibacakan sambil memberikan persembahan kurban.[13]
Metode tafsiran teks Weda yang dipakai Jaimini merupakan Ikhtisar istilah-istilah yang digunakan serampangan dalam teksnya. Untuk keperluan tersebut, isi Weda dibagi menjadi lima bagian :
1)      Amanat/perintah (Vidhi)
2)      Nyanyian/Puji-pujian (Mantra)
3)      Nama Khusus (Namadheya)
4)      Larangan (Nisedha)
5)      Ayat-ayat penjelasan (Arthavada)[14]

     F.    Tentang Alam (Kosmologi)

Sad Dharsana
Mimamsa
(9 Kategori)
Vedanta
Nyaya
(6  Kategori)
Veisesika
(7Kategori)
Samkhya
(25 Kategori)
Yoga
Unsur Kosmologi
Bumi

Kualitas
Substansi
Purusa
Satva Guna
Air

Karma
Kwalitas
Prakrti
Rajas Guna
Api

Universalia
Aktifitas
Mahat
Taman Guna
Hawa

Individualitas
Sifat Umum
Ahamkara

Akasa

Niscaya
Sifat perorangan
Tanmatra (5 Indera)

Akal

Negasi
Pelekatan
5 Manas

Pribadi


Ketidakadaan
5 Karmenrdiya

Ruang



5 Maheuhuta

Waktu










      Daftar Pustaka
1.       Ali, Matius,  Filsafat India. Sanggar Luxor,  Tangerang: 2010
2.      Adiputra, I Gede Rudia, Tattwa Darsana,Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta:1990
3.      Koller, John M., Filsafat India (terj)., Ledalore, Flores:2010
4.      Swabodhi, Pdt. D.D. Harsa, Upamana-Pramana, Budha Dharma Dan Hindu Dharma, Yayasan Perguruan Budaya I.B.U,  SUMUT:1980
5.      Zimmer, Heinrich, Sejarah Filsafat India (terj)., Pustaka Pelajar, Yogyakarta:2003


[1] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu,  hal. 59
[2] Matius Ali, Filsafat India, hal. 29
[3] Matius Ali, Filsafat India, hal. 30
[4] Matius Ali, Filsafat India, hal. 31
[5] Ali, Matius. Filsafat india, hal. 89
[6] Adiputra, Gede Rudia. Tattwa Darsana. hal. 36
[7] John M. Koller. Filsafat Asia. hal. 152

[8] John M. Koller. Filsafat Asia. hal. 155
[9] Adiputra, Gede Rudia. Tattwa Darsana. hal. 40
[10] Adiputra, Gede Rudia. Tattwa Darsana. hal. 41
[11] Ibid, hal. 42
[12] Pdt. D.D Harsa S., Upamana-pramana, hal.28
[13] Matius Ali, Filsafat India, hal.91
[14] Pdt. D.D Harsa S., Upamana-pramana, hal.30
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Belajar Hinduisme - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger